Rabu, 04 Februari 2015

Raden Istigno Kartodidjojo "Maestro Seni yang Terlupakan"

Pernah suatu ketika orang tua saya pernah menceritakan tentang sejarah salah satu gedung di seberang jalan kediaman saya, yaitu di Jl. Raya Candra Wilwatikta no.33 Klampok – Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur. Gedung yang selalu terlihat sepi tersebut mempunyai bentuk yang unik dan asri, seakan menyimpan nilai seni yang tinggi. Sedari kecil, saya selalu dibuat penasaran olehnya. Menurut cerita orang tua saya, gedung tersebut adalah sebuah galleri seni sekaligus rumah kediaman Almarhum Bapak R. Istigno (1921-1999). Siapakah beliau tersebut? Lantas apa yang membuat gedung tersebut mempunyai nilai historis seni di indonesia?



Tampak Depan Padepokan Prapanca Pandaan
(Sumber: https://pandaanpaper.wordpress.com/tag/raden-istigno-kartodidjojo/#jp-carousel-248)

Lahir di Pati dengan nama lengkap Raden Istigno Kartadidjojo, beliau merupakan salah satu pelukis maestro yang pernah satu zaman berkiprah dengan pelukis ternama di Indonesia, Affandi. Karya-karya beliau kebanyakan mengangkat beberapa tema kebudayaan tradisional Jawa dengan sedikit gaya wayang beraliran dekoratif namun memiliki nilai filosofi yang tinggi, hingga beliau pernah dijuluki sebagai pelukis Jawa Adiluhung yang berarti budaya yang sangat indah. Tidak diragukan lagi nilai estetika karyanya.



Sebagian Karya dari Raden Istigno Kartididjojo
(sumber: https://pandaanpaper.wordpress.com/tag/raden-istigno-kartodidjojo/#jp-carousel-233)


Setelah hijrah dari tanah kelahirannya beliau memilih bertempat tinggal di kawasan Pasuruan, tepatnya kecamatan Pandaan. Di lingkungan ini beliau mendirikan gedung dengan nama "Padepokan Prapanca Pandaan", bertempat di Jl. Raya Candra Wilwatikta no.33 Klampok – Pandaan. Didirikan pada tahun 1964 sama dengan berdirinya taman budaya terbesar di Jawa Timur, yaitu Taman Candra Wilwatikta yang lokasi bangunannya juga saling bersebrangan.
Ratusan karya telah beliau produksi di kediamannya tesebut, diantaranya tersebar di tangan kolektor maupun di berbagai galleri di penjuru dunia. Ratusan karya lagi hingga kini masih menghiasi dinding gedung padepokan, namun tidak terurusi dengan baik, dikarenakan tempat yang sudah tidak layak lagi serta biaya perawatan untuk merestorasi lukisan yang sudah cukup tua tersebut.
Bukan berarti pemerintah tak peduli pada warisan budaya bangsa ini. Pernah suatu ketika Pemerintah Kabupaten Pasuruan menghubungi pihak ahli waris almarhum dan berjanji untuk mengubah galleri tua tersebut menjadi museum seni layaknya museum Affandi di kota Yogyakarta, namun hingga kini janji tersebut belum ter-realisasi-kan.
Apakah janji tersebut hanya iming-iming saja? Akankah gedung dengan nilai historis tinggi tersebut lapuk dimakan rayap dan roboh dengan sendirinya? tak ada yang tahu dengan pasti, semoga pemerintah segera menepati janji manis mereka.

Penulis: Jefry Reza Ardiansyah
Referensi:
-Raden Istigno Kartodidjojo (1921-1999). À la recherche d'un sublime (adiluhung) javanais, 2005: LABROUSSE Pierre. Parris.

-pandaanpaper.wordpress.com/tag/raden-istigno-kartodidjojo/

Sabtu, 08 September 2012

SIGH The Japanese Metal Band





Sigh adalah band metal indie dari kota Tokyo, Jepang. Yang terbentuk pada tahun 1990, mereka dapat  predikat sebagai salah satu band jepang pertama yang mengusung aliran Black Metal, dimana ketika itu rata-rata band Black Metal berasal dari Skandinavia. Sigh adalah band Prog/Avant Black Metal yang dulu bermula sebagai band yang mengusung genre Symphonic Black Metal. Pada masa - masa awal karirnya, mereka pernah bernaung di label DSP (Deathlike Silence Productions) yang diketuai oleh Oystein Aarseth (a.k.a Euronymous). Setelah kematian prematur dari Euronymous, Sigh mulai bereksperimen dengan menambahkan aroma - aroma musik lain di lagu - lagunya. Eksperimentasi ini paling terlihat di album ketiga dan keempat Sigh (Imaginary Sonicscape). Sigh sangat terinspirasi dengan band aliran black metal seperti Venom, Celtic Frost, Iron Maiden, Black Sabbath, Judas Priest, Kiss, Motorhead dan Deep Purple. 




Sampai saat ini Sigh minim dalam melakukan pergantian member. Suatu hal yang istimewa dimana kebanyakan band metal apalagi terbilang “sepuh” bias menjaga kesolidaritasannya sampai sekarang. Bahkan tahun 2007  kemarin Dr. Mikannibal seorang vocalist yang juga merangkap pemain Saxophone direkrut menjadi anggota baru.  Kini, Sigh yang anggotanya 5 orang yakni Mirai Kawashima (vocal - keyboards), Shinichi Ishikawa (guitar), Satoshi Fujinami (guitar/bass), Junichi Harashima (drums) dan Dr. Mikannibal (saxophone-female vocal) telah menjadi salah satu band Symphonic Black Metal/Avant Garde Metal yang paling dikenal di kancah Ekstrem Metal di Jepang


Discography


Studio albums
Scorn Defeat (1993)
Infidel Art (1995)
Hail Horror Hail (1997)
Scenario IV: Dread Dreams (1999)
Imaginary Sonicscape (2001)
Gallows Gallery (2005)
Hangman's Hymn (2007)
Scenes from Hell (2010)
In Somniphobia (2012)


EPs
Requiem for Fools (1992)
Ghastly Funeral Theatre (1997)
A Tribute to Venom (2008)
The Curse of Izanagi 7" (2010)


Demos
Desolation (1990)
Tragedies (1990)


Selasa, 28 Agustus 2012

Mengkaji Karya Seni Bambang ‘Toko’ Witjaksono

Biografi Seniman
Bambang Toko Witjaksono yang lahir di kota Yogyakarta pada 27 maret 1973. Beliau adalah seniman yang mulai bergerak di dunia seni pada sekitar tahun 90’an dan beliau juga salah satu pendiri komunitas Apotik Komik. Saat ini beliau menjadi salah satu dosen seni grafis di ISI Yogyakarta. Selain itu beliau juga aktif di berbagai kegiatan seni baik menjadi kurator dan peserta pameran. Sejak kecil Bambang sudah menyukai segala komik dan ilustrasi tahun 80’an dan segala hal yang berbau vintage. Beliau menempuh pendidikan sarjana di jurusan seni grafis ISI Yogyakarta pada tahun (1991-1997). Kemudian beliau meneruskan pendidikan Pasca Sarjana nya di Fakultas  Seni rupa dan Desain ITB Bandung. 

 Pak Bambang ‘Toko’ Witjaksono di depan Studio Pribadinya



            Karya Dengan Tema Sticker Angkot
Karya Bambang ‘Toko’ Witjaksono lewat apropriasi materi visual “seni rendahan”. Karyanya berupa gaya stiker-stiker yang biasa di jual di pinggir jalan, dan biasa kita lihat dan temukan sebagai hiasan untuk kendaraan truk, angkutan umum, motor , dan berbagai hiasan di lingkungan yang dianggap marjinal, “kampungan”. Dengan tulisan-tulisan yang dianggap cengeng, norak, tetapi selalu menggelitik, karena merepresentasikan ungkapan kaum lemah dan tertindas oleh deru kemajuan jaman. Bambang Toko menghadirkan kembali citraan marjinal tersebut, secara parodi, kedalam bentukan seni lukis, maupun benda-benda industrial lainnya. Lebih jauh ia menggubah tulisan-tulisan tersebut dari acuannya, menjadi bermakna setara dengan citraan maupun materialnya. Gejala penyetaraan makna (teks dan gambar) yang literer dan harfiah menandai semakin tipisnya pemahaman filosofis terhadap simbol serta tanda–tanda dalam kehidupan masyarakat. Bambang Toko memberikan gambaran umum tentang struktur citraan tersebut terhadap penafsirnya.

Besar Pasak Daripada Tiang (2007)


Karya Dengan Tema PIGTOGRAPHY
Karya Pigtography ini dibuat beliau untuk pameran tunggal pada tahun 2007 di salah satu gallery di negara Australia. Beliau mengambil tema Pigtography ini karena karakter babi gampang diingat setiap orang, beliau membuat setiap karya Pigtography ini dengan tema cerita yang berbeda antara satu karya dengan karya yang lain. Seperti dalam lukisan yang berjudul Happy Family, beliau meceritakan bahwa figur babi tersebut adalah pencitraan beliau kepada temannya yang seorang berkewarganegaraan asing. Dia menggambarkan bahwa keluarga temannya tersebut hidup bahagia di lingkungan Australia yang suasana lingkungannya tertata rapi dengan diselingi humor-humor yang segar, seperti pada karya let’s drink dimana terdapat gambar figur babi yang membawa botol bir di area jalan. Hal ini seperti mengambarkan kebiasaan yang telah menjadi kebudayaan masyarakat Australia yang gemar mabuk di sekitar daerah yang ramai.

Happy Family (2007)     



 Let’s Drink (2007)


     
      Karya dengan Tema TITIAN MUHIBAH: SERUMPUN SENADA, SEIRAMA
Karya serial bergaya komikal ini diciptakan beliau untuk menyanggupi undangan pameran tunggal di salah satu gallery di Negara Malaysia. Pada waktu itu sedang santer terdengar isu pencaplokan wilayah Indonesia oleh Malaysia yang berujung timbulnya rasa saling tidak percaya pada kedua Negara tersebut. Maka dengan bekal pengalaman pengetahuan musiknya, beliau mengambil tema beberapa lagu seorang penyanyi Rock Malaysia pada era 90an yang pernah berjaya di Indonesia. Beliau memvisualisasikan beberapa lirik lagu tersebut pada karyanya yang bergaya komik.     

      Tak Ada yang Menghalangi Rasa Cinta (2009)

                                             Masa-masa Indah (2009)       

       Ide Penciptaan
Ketika  melihat dan mengapresiasi karya-karya Bambang ‘Toko’ Witjaksono dengan Roy Lichtenstein maka terdapat kemiripan pada gaya visualnya. Yaitu warna-warna yang kontras bergaya vintage dan penggambaran figur yang terinspirasi komik barat.  Beliau mengakui bahwa Roy Lichtenstein adalah orang yang sangat berperan besar dalam mempengaruhi karya-karyanya.


Bahan Material dan Teknik
Beliau adalah seorang seniman grafis, tapi pada saat ini beliau lebih sering menumpahkan ekspresi lewat media seni lukis dalam menciptakan sebuah karya. Di samping cepat, beliau juga mempertimbangkan karya lukis karena menuruti banyaknya permintaan yang dipesan gallery dan juga kolektor. Teknik dan langkah pertama adalah mendesain gambar atau visualisasi pada kertas HVS. Gambar tersebut discan dan dijadikan data berupa softfile, Lalu softfile tersebut diprint pada mika transparant dan diletakkan pada mesin OHP. Kemudian pencitraan mesin OHP tersebut dihadapkan pada kanvas dan dengan menggunakan cat aklirik dan kuas, Beliau mulai mengikuti garis-garis yang terpampang pada kanvas.

Senin, 02 Juli 2012

Fotografi Jadi Lifestyle Para Remaja


Saat ini kita sedang hidup dan berada di jaman yang tak lepas dari peralatan yang serba canggih, dimana teknologi sangat berperan besar dalam kehidupan manusia. Mulai dari perangkat rumah tangga, perangkat hiburan, perangkat komunikasi dan lain sebagainya. Contohnya saja bidang Fotografi, dunia fotografi akhir-akhir ini sangatlah berkembang pesat. Sebagai sampel yang nyata, kita tengok saja kota Solo atau Surakarta, Setiap sudut-sudut kota, tak jarang kita jumpai seseorang yang terlihat menenteng sebuah kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex). Bahkan sering juga kita melihat sekelompok orang yang sedang berburu objek untuk dibidik dengan kamera mereka. Dan uniknya lagi sebagian besar dari mereka masih memiliki umur yang muda.
Dulu, manakala teknologi belum berkembang begitu pesat, Kamera SLR (Single Lens Reflex) dan macam-macam lensa sebagai peralatan yang wajib dimiliki untuk terjun dalam bidang fotografi, adalah barang yang harganya bisa dibilang relatif mahal walaupun pada saat itu teknologi pada kamera hanya berbekal mesin yang konvensional. Sedangkan biaya cuci film dan cetak foto pun juga jadi kendala utama bagi siapapun yang ingin bergelut didunia fotografi. Hal ini lah yang menjadi alasan banyak orang berpikir dua kali untuk menjalani hobi fotografi kala itu.
Semua kendala dalam dunia konvensional pun larut dan hilang taktala sekitar periode 2000an berbagai perusahaan-perusahaan besar mulai berlomba-lomba menciptakan produk kamera berteknologi digital dengan harga yang cukup terjangkau. Hal ini seakan menjadi angin segar bagi pecinta fotografi yang sudah bertahun-tahun direpotkan dengan segala tetek bengek yang ada. Inilah awal dari kejayaan bidang fotografi, dengan munculnya teknologi kamera digital yang tidak harus repot-repot membeli rol film, mencuci film dan masalah klasik lain. Karena pada DSLR fitur yang disediakan cukup memanjakan para fotografer.
Bayangkan, dulu untuk dapat memotret saja kita harus merogoh sebagian isi kantong dulu untuk membeli sebuah rol film. Sedangkan pada kamera digital masa kini rol film tersebut sudah tergantikan dengan teknologi sensor CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor) terbaru yang dapat digunakan sampai ratusan ribu jepret. Dulu jika ingin melihat hasil pemotretan, kita harus direpotkan dengan proses mencuci dan mencetak rol film pada kamar gelap. Dan dapat merogoh kocek lebih dalam lagi, bagi yang tidak punya kamar galap sendiri dan tidak tahu proses mencuci dan mencetak karena harus membawa ke studio foto yang menerima jasa cuci-cetak. Berbanding terbalik dengan sekarang, cukup dengan sekali jepret, hasil foto dapat disimpan di kartu memori dan dapat langsung dilihat pada LCD (Liquid Crystal Display) kamera. Kemudian jika kita ingin mencetaknya pada kertas, kita tinggal memindah file ke komputer kemudian akan dicetak oleh mesin printer. Hal inilah yang mendorong semua orang yang hobi maupun yang awam mulai berbondong-bondong mengikuti perkembangan fotografi. Baik untuk sekedar belajar atau bahkan bertekat untuk mencari penghasilan pada bidang ini.

Dewasa ini, dari berbagai kalangan dan segala latar belakang. Orang dapat leluasa membawa pulang sebuah kamera DSLR beserta aksesorisnya dengan harga yang murah meriah. Kamera DSLR yang sejatinya digunakan seorang fotografer dalam menangkap keindahan suatu momen pada citra dua dimensi ini, kini sudah mulai bias fungsinya. Di sekitar kota Solo tak jarang kita jumpai anak-anak muda dengan kisaran umur belasan tahun sudah terbiasa berjalan-jalan sambil menenteng-nenteng kamera DSLR. Bahkan kebanyakan dari para remaja itu terlihat membawa peralatan yang mahal dengan standar professional. Ironisnya rata-rata dari mereka menggunakan mode automatis. Hal ini sangatlah mubadzir mengingat kamera DSLR dirancang untuk dapat diatur oleh pengguna dengan leluasa dan sekreatif mungkin, dan bukan untuk sebaliknya.
Inilah yang akan terjadi jika sebuah benda dengan nilai fungsi istimewa berada di tangan para remaja seperti mereka, fungsi kamera pun tak hanya sekedar dokumentasi kegiatan sehari-hari mereka, melainkan juga sebagai ajang untuk bergaya narsis dan pamer peralatan mahal. Hal seperti ini sebenarnya dapat kita tanggulangi dengan mengarahkan mereka pada aktivitas yang positif, Seperti menyerukan mereka untuk bergabung dalam komunitas berbau fotografi. Komunitas fotografi pun kini sudah membludak di kota solo sehingga kita tak usah sungkan untuk bergabung dengan salah satu komunitas mereka. Dengan bergabung pada komunitas kita dapat berbagi pengalaman, baik itu pengetahuan masalah teknis maupun secara estetis.

Minggu, 01 Juli 2012

Sebuah Karya Video Art

Memoirs of Art

Sebuah karya Video Art dari kami mahasiswa Seni Rupa Murni UNS Surakarta.
Selamat mengapresiasi karya kami.

The Beatles on Printmaking Art


Behind The Scene of The Deadles


Proses Pembuatan
Proses pembuatan karya yang berjudul The Deadles ini menggunakan teknik Dry Point, yaitu salah satu teknik cetak dalam. Langkah pertama penciptaan karya ini adalah dengan menyiapkan selembar pelat berbahan aklirik yang kemudian di bagian belakangnya ditempeli sketsa karya untuk memudahkan seniman menggoreskan besi runcing pada permukaan pelat aklirik. Kemudian proses berikutnya adalah menuangkan tinta cetak pada permukaan pelat acuan. Setelah tinta cetak rata menyelimuti permukaan, maka langkah berikutnya adalah membersihkan permukaan yang tinggi dengan kain perca dan kertas  di permukaan yang sebelumnya telah digores dengan besi runcing. Kemudian media kertas cetak dibasahi dengan air agar lembab dan memudahkan perpindahan tinta pada saat ditekan dengan mesin cetak.
Konsep Karya
The Beatles, siapa yang tidak mengenal band rock papan atas asal inggris ini. Salah satu dedengkot musik rock yang sampai saat ini lagu-lagunya masih sering didengar maupun dilantunkan oleh para pecinta musik. Walaupun telah bubar puluhan tahun lalu, mereka tetap hidup dalam karya yang telah mereka ciptakan. Musisi yang karya-karya nya akan selalu abadi di jagad ranah hiburan dan tak kan mati (Deadles). Pada visualisasi karya terdapat empat figur personel The Beatles yang disajikan dalam media kertas.

 
The Deadles Tahun Pembuatan : 2011 Ukuran : 46 x 23cm Teknik : Dry Point
By Jefry Reza

Jika sejenak kita mencermati karya ini, maka ada yang ganjil dengan dengan tulisan “The Deadles”. Pada tulisan tersebut kata The Deadles tercetak terbalik seperti pada pantulan cermin. Adakah kesalahan pada saat proses pembuatan? Ataukah ada maksud tertentu yang akan disampaikan oleh si pembuat karya?. Jika kita mengamati hasil karya drawing dengan drypoint, sekilas tidak ada perbedaan yang mencolok kecuali adanya edisi cetakan yang tercantum pada bagian bawah karya. Maka dari itu tulisan The Deadles dengan posisi terbalik menegaskan bahwa inilah ciri khas seni grafis, dimana sketsa pada pelat akan terbalik ketika dicetak pada sebuah media.